Ruangan Lebih Lega, Pikiran Lebih Tenang: Cerita Desain Minimalis Sehari-Hari
Kenapa Saya Memilih Minimalis?
Dulu rumah saya penuh barang. Buku berserakan, kabel melingkar, dan benda-benda kecil yang selalu saja menunggu waktu untuk dibereskan. Rasanya berat setiap pulang. Akhirnya saya mulai mencoba sedikit demi sedikit mengurangi. Bukan karena tren. Melainkan karena saya ingin pulang ke tempat yang membuat napas lega. Minimalis bagi saya bukan soal estetik semata, melainkan soal fungsi: setiap benda punya alasan untuk ada.
Bagaimana Memulai Proses Declutter?
Langkah pertama yang saya ambil sederhana: satu laci, satu rak, satu sudut. Setiap hari saya memilih satu area dan memutuskan nasib barang-barang di dalamnya. Pertanyaan yang saya ajukan sederhana juga: apakah saya memakai ini setahun terakhir? Apakah barang ini memberi kebahagiaan atau beban? Kalau jawabannya tidak, saya sisihkan. Menjual, memberi, atau membuang—pilih salah satu.
Saya juga menetapkan aturan 80/20 untuk diri sendiri. 20% barang yang paling sering dipakai, 80% sisanya bisa disimpan di tempat yang tidak menonjol atau dilepas sama sekali. Manfaatnya langsung terasa. Ruang tampak lebih rapi. Membersihkan jadi cepat. Ini memberi rasa kontrol kecil yang, bagi saya, berpengaruh besar pada suasana hati.
Apa Saja Tips Praktis yang Saya Pakai?
Ada beberapa trik yang selalu saya ulang. Pertama, buat satu kategori untuk serba-serbi kecil: kabel, charger, remote. Gunakan kotak penyimpanan yang konsisten supaya mata tidak terganggu. Kedua, pilih palet warna netral; warna yang tenang membuat ruangan terasa lapang—putih, krem, abu-abu lembut. Ketiga, fungsi dulu estetika. Meja kerja harus bersih, meja makan harus bisa dipakai. Kalau furnitur bisa punya dua fungsi, itu bonus.
Saya juga belajar mengatakan “cukup” saat belanja. Dulu mudah tergoda diskon. Sekarang saya tanya: apakah barang ini akan membuat hidup saya lebih mudah atau hanya menambah benda? Biasanya jawabannya jelas. Oh, dan jangan lupakan kebiasaan mingguan: 10 menit tiap hari untuk merapikan permukaan. Itu mencegah kekacauan menjadi gunung pekerjaan.
Bagaimana Mindfulness Menyatu dengan Ruang Minimalis?
Ruang yang rapi mengundang kebiasaan tenang. Saya mulai memasukkan beberapa ritual kecil: duduk 5 menit di sudut dengan secangkir teh, menyalakan lilin aroma ringan, atau membuka jendela agar udara masuk. Ketika lingkungan luar lebih sederhana, saya lebih mudah menyadari napas dan perasaan saya sendiri. Mindfulness tidak selalu soal meditasi panjang. Sering kali cukup dengan menyengaja memperhatikan aktivitas sehari-hari: mencuci piring, menyapu lantai, atau merapikan bantal.
Saat mood sedang tidak baik, saya memilih tugas rumah yang sederhana. Menyapu misalnya. Gerakan repetitif dan hasil yang langsung terlihat memberi perasaan pencapaian kecil. Itu menenangkan sistem saraf saya lebih dari waktu yang saya habiskan scrolling media sosial. Ruang yang lega membuat ruang di kepala juga lebih lega.
Perubahan yang Terasa — Cerita Kecil
Salah satu momen kecil yang saya ingat adalah ketika teman lama datang berkunjung dan berkata, “Rasanya tenang di sini.” Saya tersenyum karena itu bukan sekadar pujian untuk estetika. Itu adalah pengakuan terhadap perubahan kebiasaan saya. Sekarang tamu duduk, kita ngobrol, bukan mendaki tumpukan majalah.
Perubahan lain yang lebih personal: saya tidur lebih nyenyak. Kamar yang minim distraksi membuat saya lebih cepat rileks. Pagi hari pun terasa lebih ringan. Saya tidak perlu menghabiskan waktu mencari-siap karena rumah sudah disusun sedemikian rupa agar memudahkan rutinitas. Hidup jadi lebih sederhana. Bukan membosankan. Justru lebih fokus.
Terinspirasi dari berbagai sumber, termasuk pandangan hidup sederhana yang saya temui di houseofsadgi, saya menyadari bahwa minimalis bukan tentang mengurasi sampai kosong. Melainkan memilih apa yang penting. Menjaga ruang agar bisa mendukung hidup yang kita inginkan. Kalau kamu ingin mulai, coba aja satu laci dulu. Jangan buru-buru. Perubahan kecil, lama-lama jadi cara hidup.