Aku ingat pertama kali merasa sesak di rumah sendiri. Tumpukan majalah di meja kopi, kabel yang selalu kusangkut saat lewat, dan sebuah meja samping tempat aku menaruh “nanti”—kotak kecil yang isinya entah-apa. Rasanya seperti membawa ransel berat di rumah sendiri. Itu momen kecil yang membuat aku mulai bertanya: apa yang sebenarnya penting?
Awal Cerita: Kenapa Aku Pilih Minimalis
Keputusan itu tak dramatis. Bukan renovasi besar atau pindah ke rumah baru. Hanya sebuah sore hujan, secangkir kopi, dan waktu senggang. Aku mulai memilah satu laci. Resep lama, pulpen yang kering, foto-foto yang kusam. Satu per satu keluar. Meja jadi lega. Napas juga terasa lebih lega. Minimalis bagi aku bukan soal estetika yang steril—bukan rumah katalog. Minimalis adalah ruang bernapas. Ruang untuk melakukan hal yang membuatku bahagia: membaca, menulis, mendengarkan musik dengan volume pas, atau sekadar menatap hujan dari jendela.
Langkah-Langkah Berbenah (Praktis!)
Aku suka cara sederhana, tidak perlu aturan kaku. Ini beberapa hal yang kulakukan dan mungkin bisa kamu coba:
– Mulai dari benda yang paling terlihat. Meja, rak, meja makan. Kalau itu rapi, efeknya langsung terasa.
– Terapkan aturan 4 kotak saat declutter: simpan, buang, donasi, dan ragu. Yang ragu taruh satu tempat dan beri waktu 30 hari. Jika setelah itu kamu tak memakai, lepaskan.
– Satu masuk satu keluar. Beli baju baru? Buang atau donasikan satu yang sudah tak dipakai. Sederhana dan efektif.
– Gunakan wadah transparan atau label. Percaya deh, mengetahui apa yang ada di kotak membuat kita enggan menimbun.
Satu yang sering dianggap sepele: kabel. Aku membeli organizer kabel murah dan menempel di bawah meja. Efeknya kecil, tapi setiap hari aku tak lagi terganggu saat melangkah ke dapur. Detail kecil seperti itu bikin rutinitas jadi halus.
Mindfulness di Setiap Sudut
Di sinilah minimalis berbelok ke hal yang lebih dalam: perhatian pada momen. Saat menata, aku berusaha sadar. Kenapa menyimpan buku itu? Karena penuh kenangan atau karena takut menyesal? Saat menyimpan piring, aku sengaja merasakan teksturnya. Aneh tapi menenangkan. Latihan kecil: sebelum membeli, tanya pada diri sendiri, “Apakah ini menambah kualitas hidupku?” Bukan sekadar “keren” atau “murah.”
Meditasi bukan harus duduk diam. Berbenah yang pelan dan penuh perhatian bisa jadi meditasi juga. Gerakan tangan saat melipat baju, bunyi kain yang menumpuk, aroma sabun cucian—semua itu bisa jadi jangkar saat merasa kalut. Selain itu, saya sering membaca blog atau referensi gaya hidup sederhana—misalnya houseofsadgi—untuk mendapatkan perspektif lain. Bukan meniru mentah-mentah, tapi mengambil inspirasi yang resonan dengan kebiasaan kita.
Tips Kecil yang Sering Dilupakan
Ada beberapa hal kecil yang sering terlupakan tapi berdampak: pencahayaan, tanaman kecil, dan area untuk melepaskan barang musiman. Pencahayaan hangat membuat ruang terasa ramah. Tanaman kecil menambah hidup, bahkan kaktus kecil di sudut meja terasa seperti teman yang tenang. Area musiman—sebuah keranjang untuk sepatu musim hujan atau topi musim dingin—membuat rotasi barang lebih mudah.
Aku percaya minimalis harus fleksibel. Rumahku tidak selalu rapi sempurna. Ada hari ketika mainan kucing bertebaran atau buku menumpuk karena proyek menulis. Itu wajar. Filosofi yang kupakai: jangan jadikan minimalis sebagai beban baru. Tujuan akhirnya adalah hidup lebih ringan, bukan menambah tekanan soal kesempurnaan estetika.
Kalau kamu mulai, beri diri sendiri ruang untuk mencoba. Mulailah kecil. Satu laci. Satu rak. Lalu rasakan perubahannya—bukan hanya di ruang, tapi di kepala. Itu yang paling berharga menurutku: ruang yang membuat kita bisa tenang, berfokus, dan lebih hadir. Bukan rumah tanpa benda, tapi rumah dengan benda yang bermakna.